Breaking News
- Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2025
- Lebih Dari 1.200 Guru SMK dan Instruktur LKP Siap Tingkatkan Kompetensi
- Menyuarakan Kembali Semangat Kartini dalam Bedah Buku Trilogi Kartini
- Kemendikdasmen Dorong Kolaborasi Pusat dan Daerah Ciptakan Lembaga Pendidikan yang Berkualitas
- Bergabunglah dalam Workshop & Sosialisasi Hari Kesiapsiagaan Bencana 2025!
- Kemendikdasmen Apresiasi Penyelenggaraan Program Bahasa Inggris BERCERITA di Kabupaten Belitung
- Kemendikdasmen Tegaskan Komitmen Indonesia dalam Program Prioritas SEAMEO 2021–2030
- Revisi UU Sisdiknas Gabungkan 4 UU Terkait Pendidikan, Resentralisasi Guru Dibahas
- Halalbihalal Keluarga Besar Kemendikdasmen: Perkuat Semangat Pengabdian dan Kerja Sama
- Kewaspadaan Terhadap Potensi Bencana Alam Erupsi Gunung Gede dan Gunung Salak di Wilayah Sekitarnya
Ilmuwan Tiga Negara Bahas Isu Pemasaran Pangan Berkelanjutan

Keterangan Gambar : Ilmuwan Tiga Negara Bahas Isu Pemasaran Pangan Berkelanjutan
Canberra, Kemendikdasmen --- Kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Canberra menggelar Strategic Talk #7 dengan tema “Updates on Agri-Food Marketing Issues in Europe, Australia, and Indonesia” pada Selasa (10/12). Seminar yang dilaksanakan secara daring (webinar) ini menghadirkan pembicara dari tiga negara, yaitu Victoria-Sophie Osburg dari Montpellier Business School Prancis, Ujang Sumarwan dari Sekolah Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Risti Permani dari School of Agriculture and Food Sustainability, University of Queensland. Webinar dimoderatori oleh Prita Prasetya dari Universitas Prasetiya Mulya.
Dalam sambutannya, Atdikbud KBRI Canberra, Mukhamad Najib menyampaikan bahwa tujuan dari webinar ini adalah untuk mempertemukan ilmuwan dari ketiga negara untuk saling berbagi mengenai isu-isu terbaru dalam bidang pemasaran produk pangan. Menurut Atdikbud Najib, pemasaran pangan saat ini mengalami cukup banyak tantangan.
“Di Indonesia, beberapa waktu lalu kita membaca berita bagaimana petani membuang hasil panen mereka karena tidak mendapatkan harga yang sesuai untuk produk mereka. Di Australia, ada perusahaan coklat yang menampilkan label 100 persen palm oil free. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi negara penghasil sawit seperti Indonesia untuk memasarkan produknya,” jelas Najib.
Menurut Atdikbud Najib, setiap negara memiliki tantangan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks pemasaran pangan, bisa jadi ada hal-hal yang dapat dipelajari antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, pertemuan ilmuwan pemasaran produk pangan ini, menurut Najib, sangatlah strategis untuk menyelesaikan masalah-masalah pemasaran.
Sementara itu, ilmuwan dari Montpellier Business School Prancis, Victoria Osburg memaparkan beberapa tantangan dalam pemasaran produk pangan di Eropa. Menurut Victoria, saat ini berkembang permintaan atas produk organik yang diproduksi oleh petani lokal serta produk pangan yang dapat memberikan manfaat nutrisi spesifik. Konsumen Eropa saat ini juga menuntut adanya transparansi mengenai dampak lingkungan yang dihasilkan dari proses produksi pangan yang dilakukan oleh petani maupun industri.
Sedangkan ilmuwan dari University of Queensland, Risti Permani menyampaikan jika pertanian di Australia memberi kontribusi sebesar 14 persen dari emisi nasional di Australia. Sementara itu menurut Risti, sebanyak 51 persen konsumen Australia menilai isu keberlanjutan merupakan faktor penting ketika mempertimbangan untuk membeli suatu produk. Oleh karena itu perusahaan harus memperhatikan aspek produksi pangan berkelanjutan ketika ingin memasarkan produk pangannya di Australia.
Selanjutnya, ilmuwan dari IPB yang juga presiden AACIM (Asian Association for Consumer Interests and Marketing), Ujang Sumarwan menyatakan arah perubahan perilaku konsumen Indonesia hampir sama dengan di negara-negara lain. Menurut Ujang, saat ini konsumen Indonesia mulai sadar lingkungan, sehingga permintaan terhadap produk organik semakin meningkat. Selain itu, tambah Ujang, konsumen Indonesia juga semakin membutuhkan kepastian atas kehalalan produk makanan. Sehingga sangat penting bagi pemasar, khususnya pemasar bidang pangan, untuk melakukan sertifikasi halal jika ingin memasarkan produk pangannya di Indonesia.
Acara Strategic Talk#7 yang digelar kantor Atdikbud KBRI Canberra dihadiri oleh lebih dari 150 peserta yang berasal dari Indonesia dan Australia. Para peserta juga memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, peneliti, maupun pelaku industri pangan dan lembaga swadaya masyarakat. Para peserta banyak menanyakan peran teknologi seperti 3D printer dan Artificial Intelligent dalam pemasaran produk pangan di masa depan. (Mukhamad Najib/Editor: Rayhan, Denty)


Dalam sambutannya, Atdikbud KBRI Canberra, Mukhamad Najib menyampaikan bahwa tujuan dari webinar ini adalah untuk mempertemukan ilmuwan dari ketiga negara untuk saling berbagi mengenai isu-isu terbaru dalam bidang pemasaran produk pangan. Menurut Atdikbud Najib, pemasaran pangan saat ini mengalami cukup banyak tantangan.
“Di Indonesia, beberapa waktu lalu kita membaca berita bagaimana petani membuang hasil panen mereka karena tidak mendapatkan harga yang sesuai untuk produk mereka. Di Australia, ada perusahaan coklat yang menampilkan label 100 persen palm oil free. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi negara penghasil sawit seperti Indonesia untuk memasarkan produknya,” jelas Najib.
Menurut Atdikbud Najib, setiap negara memiliki tantangan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks pemasaran pangan, bisa jadi ada hal-hal yang dapat dipelajari antara satu dengan yang lainnya. Sehingga, pertemuan ilmuwan pemasaran produk pangan ini, menurut Najib, sangatlah strategis untuk menyelesaikan masalah-masalah pemasaran.
Sementara itu, ilmuwan dari Montpellier Business School Prancis, Victoria Osburg memaparkan beberapa tantangan dalam pemasaran produk pangan di Eropa. Menurut Victoria, saat ini berkembang permintaan atas produk organik yang diproduksi oleh petani lokal serta produk pangan yang dapat memberikan manfaat nutrisi spesifik. Konsumen Eropa saat ini juga menuntut adanya transparansi mengenai dampak lingkungan yang dihasilkan dari proses produksi pangan yang dilakukan oleh petani maupun industri.
Sedangkan ilmuwan dari University of Queensland, Risti Permani menyampaikan jika pertanian di Australia memberi kontribusi sebesar 14 persen dari emisi nasional di Australia. Sementara itu menurut Risti, sebanyak 51 persen konsumen Australia menilai isu keberlanjutan merupakan faktor penting ketika mempertimbangan untuk membeli suatu produk. Oleh karena itu perusahaan harus memperhatikan aspek produksi pangan berkelanjutan ketika ingin memasarkan produk pangannya di Australia.
Selanjutnya, ilmuwan dari IPB yang juga presiden AACIM (Asian Association for Consumer Interests and Marketing), Ujang Sumarwan menyatakan arah perubahan perilaku konsumen Indonesia hampir sama dengan di negara-negara lain. Menurut Ujang, saat ini konsumen Indonesia mulai sadar lingkungan, sehingga permintaan terhadap produk organik semakin meningkat. Selain itu, tambah Ujang, konsumen Indonesia juga semakin membutuhkan kepastian atas kehalalan produk makanan. Sehingga sangat penting bagi pemasar, khususnya pemasar bidang pangan, untuk melakukan sertifikasi halal jika ingin memasarkan produk pangannya di Indonesia.
Acara Strategic Talk#7 yang digelar kantor Atdikbud KBRI Canberra dihadiri oleh lebih dari 150 peserta yang berasal dari Indonesia dan Australia. Para peserta juga memiliki latar belakang yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, peneliti, maupun pelaku industri pangan dan lembaga swadaya masyarakat. Para peserta banyak menanyakan peran teknologi seperti 3D printer dan Artificial Intelligent dalam pemasaran produk pangan di masa depan. (Mukhamad Najib/Editor: Rayhan, Denty)
Sumber :https://www.kemdikbud.go.id/

Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments